Ahkir-akhir ini korban tindak pidana kejahatan terhadap anak seperti: korban kekerasan fisik dan/atau psikis, korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan, korban anak yang dieksploitas secara ekonomi dan seksual, yang marak di daerah-daerah di wilayah Indonesia. Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap Anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil (yang dapat dihitung) dan kerugian immateriil (yang tidak dapat dihitung) antara lain kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau kecemasan berlebihan yang bersifat traumatik. Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku dalam bentuk Restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami Anak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak korban.
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi Anak dari kekerasan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak secara wajar. Serta di dalam Peraturan Pemerintah juga mengatur mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana, dengan harapan akan memperjelas kepatian hukum bagi anak-anak yang menjadi korban tindak pidana.
Konsep mekanisme pengajuan permohonan restitusi tersebut secara langsung akan meniadakan ketentuan Pasal 7A ayat (3) UU No. 31 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Selain menggantikan peran LPSK dengan Kejaksaan, konsep ini juga hanya mengatur tentang permohonan restitusi yang diajukan oleh korban tindak pidana sebelum tuntutan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal tersebut untuk menghindari ketidakpastian hukum dan memberikan rasa aman bagi korban tindak pidana akan terpenuhinya hakhaknya sebagai korban. Hal ini dimungkinkan karena apabila pelaku tindak pidana tidak mau atau tidak mampu membayar restitusi yang jumlahnya telah diputuskan oleh hakim, maka Jaksa Penuntut Umum dapat memaksa pelaku dengan cara menyita dan melelang harta benda pelaku untuk membayar restitusi bagi korban tindak pidana. Selain itu, jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku akan dikenai pidana kurungan pengganti. Sedangkan apabila pelaku berupaya menghindar untuk membayar kompensasi kepada korban, maka pelakunantinya tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.
A&A Law Office mengedepankan prinsip Profesionalisme dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi klien. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya selalu berpijak kepada komitmen dan tangung jawab tasa profesi dan kode etik setiap menjalankan profesi bidang hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila Anda membutuhkan konsultasi lebih lanjut maka dapat menghubungi A&A Law Office dengan menghubungi No. Telp atau mengirimkan email ke lawyer@aa-lawoffice.com atau datang ke kantor kami.