PMH dalam lingkup Peradilan

Prinsipnya, di Indonesia ada dua peradilan yang mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara perdata: Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Gugatan perdata dapat diajukan ke pengadilan dengan alas gugat antara lain adanya perbuatan melawan hukum (PMH). Selama ini sudah umum diakui bahwa perkara perdata dengan alas gugat adanya PMH merupakan kewenangan  absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pasca diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 kemuadian terjadi perluasan dan perubahan kewenangan Peradilan Agama. Perluasan kewenangan tersebut antara lain penambahan kewenangan menyelesaikan perkara ekonomi syariah, sementara perubahan kewenangan Peradilan Agama meliputi: Penghapusan Hak Opsi pada perkara waris dan Penambahan aturan specialis pada Pasal  50 ayat (2) terkait penyelesaian sengketa milik atau sengketa lain. Terdapat persinggungan ketika PMH yang dilakukan terkait dengan waris yang dialami oleh pewaris yang beragama Islam.

Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perbuatan melawan hukum adalah adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Sebelum tahun 1919, PMH dimaknai secara sempit akibat pengaruh legisme. PMH disebut sebagai onrechtmatigedaad, yaitu perbuatan melanggar undang-undang dengan makna bahwa suatu perbuatan baru dianggap melanggar hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Pemahaman ini dimaknai berdasarkan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine dan Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 kasus Zutphenese Juffrouw yang dalam kasus ini dimaknai onwetnalaghten yang terhadapnya diharuskan adanya kesengajaan.

Setelah tahun 1919 dengan adanya perkara Lindenbaum vs. Cohen 31 Januari 1919  makna melawan hukum diperluas sedemikian rupa. Melawan Hukum merupakan tindakan berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari pada orang yang berbuat atau tidak berbuat itu atau bertentangan dengan tatasusila atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya di dalam pergaulan masyarakat terhadap orang atau barang orang lain.

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 50 menentukan dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini dirubah melalui UU No. 3 tahun 2006 Pasal 50 dengan menambahkan ayat (2) dalam pada pasal 50 yang menentukan apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Namun demikian, perlu dijelaskan bahwa dalam ketentuan ini tidak ditemukan pencabutan kewengan dari peradilan umum untuk mengadili perkara dengan alas gugat PMH.

PMH dikatakan sebagai Blanketnorm implementasi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata masih memerlukan materialisasi dari ketentuan di luar KUH Perdata. OKI, dalam PMH pasti ada perkara pokok yang mengikutinya, misal jual beli, sewa menyewa, utang piutang, kewarisan, perkawinan dsb. Dalam perkara perdata, pada prinsipnya, orang bebas mengajukan gugatan (tentu dengan syarat-syarat). Hakim perdata juga dilarang untuk menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada. Hakim perdata boleh melakukan penemuan hukum bahkan diberi keleluasaan untuk menggunakan metode konstruksi (metode yang dalam perkara pidana dibatasi/dilarang). Idealnya ada hak dari Tergugat atau para Tergugat untuk mengajukan eksepsi absolut pengadilan atau, manakala pihak Tergugat tidak mengajukan eksepsi absolut, seharusnya hakim (PN) menyatakan diri secara absolut tidak berwenang untuk mengadili. Dalam praktik, penyelesaian sengketa waris antara orang-orang Islam yang di dalamnya terdapat gugatan PMH diajukan baik ke PN maupun ke PA.