PENERAPAN PHK KARENA KESALAHAN BERAT

Pada awal pemberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  (“UU Ketenagakerjaan”), dari sekian banyak alasan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) salah satunya adalah karena kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, dimana didalamnya terdapat 10 (sepuluh) alasan penyebab berlakunya alasan kesalahan berat. Alasan kesalahan berat tersebut pada intinya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus ada minimal 1 (satu) alasan dari 3 (tiga) tersebut di bawah ini yang harus ada yaitu: (1) pekerja tertangkap tangan; (2) ada pengakuan dari pekerja yang bersangkutan, atau (3)  bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Apabila hal tersebut terpenuhi, maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan PHK secara sepihak tanpa wajib membayar kompensasi PHK apapun, tidak terkecuali uang penggantian hak, uang pesangon, atau uang penghargaan masa kerja.

Jadi, dari 10 (sepuluh) alasan kesalahan berat tersebut dalam praktik sangat terbatas untuk penerapannya, karena sebenarnya dunia praktek membutuhkan lebih dari 10 alasan.  Pengaturan dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sangat terbatas, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat. Padahal, setiap bidang industri memiliki atau membutuhkan kualifikasi kesalahan berat diluar  itu, misalnya pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar akan melarang pekerjanya untuk merokok, tetapi merokok tidak termasuk kesahalan berat jika mengacu pada Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, sehingga perlu dikolabirasi untuk mencari solusinya.

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena melanggar asas praduga tak bersalah. Atas permasalahan tersebut, dilakukan permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi atas permohonan pekerja dan serikat pekerja. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatukan putusan dalam Putusan No. 012/PUU-I/2003 tertanggal 28 Oktober 2004 yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk diberlakukan.

Menanggapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005, pada pokoknya mengatur perkara PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan persyaratan yaitu PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana dari pengadilan umum yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat Edaran tersebut juga menyebutkan solusi dengan terminologi “alasan mendesak” yang dapat berakibat PHK. Defisini alasan mendesak pun belum ada, sehingga dalam praktek diserahkan kepada setiap pengusaha untuk mengaturnya dalam peraturan internal perusahaan.

Untuk mendapatkan jasa Pengacara Ketenagakerjaan anda dapat menghubungi A&A Law Office via email lawyer@aa-lawoffice.com