Bipartit menyajikan opsi penyelesaian perselisihan. Di dalam perundingan bipartit, pihak berselisih dapat menyepakati salah satu dari tiga opsi berikut ini : sepakat mengakhiri perselisihan dengan kompensasi tertentu, menyerahkan penyelesaikan perselisihan kepada lembaga yang berwenang, atau memlilih Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) tempat mengajukan gugatan menyimpang dari Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”). Penyelesaian perselisihan melalui bipartit dibatasi dengan waktu. Waktunya paling lama lama 30 hari kerja, dihitung dari tanggal pertama perundingan dimulai. Bipartit disebut sebagai tahap awal penyelesaian perselisihan. Apabila proses bipartit masih juga belum dapat terjadi kesepakatan terhadap solusi, maka boleh digunakan penyelesaian perselisihan pada tahap berikutnya yaitu tripartit.
Sesuai hukum yang berlaku, pencatatan perselisihan bisa dilakukan oleh salah satu pihak. Pencatatan diajukan kepada instansi pemerintahan yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. Pencatatan perselisihan baru bisa dilakukan kalau penyelesaian melalui bipartit dianggap gagal. Setelah menerima pencatatan, instansi pemerintah memanggil pekerja dan pengusaha. Pada saat itu, pemerintah menawarkan kepada para pihak mengenai lembaga yang dapat dipilih untuk menyelesaikan perselisihan. Lembaga itu adalah mediasi, konsiliasi dan arbitrase hubungan industrial. Ketiga lembaga itu disebut alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial (APPHl). Pada tahap ini, lembaga yang ditawarkan adalah konsiliasi atau arbitrase. Meskipun demikian, pihak berselisih berhak menolak keduanya. Kalau menolak keduanya, perselisihan diselesaikan melalui mediasi.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi di tingkat daerah dilakukan oleh mediator Dinas Tenaga Kerja setempat. Mediator yang memediasi perselisihan bukan pilihan pihak berselisih, tetapi ditunjuk oleh pimpinan mediator. Selanjutnya produk hukum mediator disebut anjuran. Anjuran memiliki derajat yang tidak sama dengan putusan pengadilan. Anjuran, berdasarkan UU PPHI, tidak memiliki daya mengikat. Pengadilan tidak diberi kewenangan mengeksekusi anjuran, sehingga pelaksanaan anjuran bergantung pada kerelaaan atau iktikad baik pihak berselisih.