Setiap Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) harus beralasan hukum. Saat ini terdapat puluhan alasan PHK yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Di luar itu, para pihak dapat mengaturnya sendiri, baik itu terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama. Dalam proses PHK, pekerja berhak atas kompensasi yang harus didapatkan sesuai dengan masa kerjanya.
Mencermati penyelesaian kasus PHK yang berkembang selama ini, perlu memperbaiki budaya dan substansi hukum. Gugatan yang diterima Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) dominan diajukan oleh pekerja. Kewajiban membawa penyelesaian PHK ke ranah hukum, praktik selama ini cenderung dibebankan kepada pekerja. Hukum perlu didorong menjamin penyelesaian PHK sebagai kewajiban pengusaha, agar menjadi imbang. Kewajiban itu bertujuan memastikan bahwa semua tindakan PHK diselesaikan sesuai hukum. Dengan demikian, pengusaha tidak dituding melakukan tindakan semena-mena.
Terkadang perusahaan kurang melindungi pekerja dalam hal kompensasi PHK. Kalau menggunakan sudut pandang perlindungan dari perspektif konstitusi maka hukum posiif perlu mengatur norma bahwa PHK yang dilakukan oleh pengusaha, apabila tidak diselesaikan, misalnya dalam waktu 1 tahun, baik dengan putusan pengadilan maupun perjanjian bersama (PB), PHK itu batal demi hukum, dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja pada posisi semula dengan membayar seluruh hak-hak pekerja. Kalau hukum positif mengatur seperti itu, kaidah seperti itu tidak bertujuan mempersulit PHK, tatapi mendorong pengusaha berinisiatif menyelesaikan PHK sesuai hukum yang berlaku. Melalui kaidah yang tegas, pengusaha akan melaksanakan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Hasil akhirnya, pengusaha peduli dan tidak menelantarkan keputusan PHK.
Mencermati perselisihan PHK, kalau dibandingkan dengan perusahaan lokal (PMDN), perusahaan asing (PMA) yang berasal dari USA dan Eropa, pada umumnya lebih patuh pada hukum PHK dan ketenagakerjaan. Ketika PMA melakukan PHK, lazim mendahului dengan tindakan skorsing. Upah dibayar sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan pengusaha domestik (PMDN). Melakukan PHK sering tanpa skorsing. Cukup atau tidak bukti untuk menyatakan pekerja bersalah, kalau hasrat melakukan PHK sudah muncul, pekerja tetap saja di PHK. Kalau dalam proses hukum pekerja terbukti tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan, kemudian berlindung dibalik alasan hubungan disharmonis. Pada bagian lain, kalau pun PHK diawali dengan skorsing, upah skorsing dibayar 6 bulan atau paling lama sampai putusan PHI diucapkan. Melihat dua karakter tersebut, perbedaan utama PMA dan PMDN terletak pada budaya hukum. Perusahaan berstatus PMDN berusaha menciptakan dan mencari celah hukum untuk dapat mengelak dari kewajiban. Sedangkan perusahaan berstatus PMA dan sebagian kecil BUMN, berupaya melaksanakan hukum sesuai norma perundang-undangan ketenagakerjaan.