Dalam UU Ketenagakerjaan dikenal dengan istilah mengundurkan diri atas kemauan sendiri atau pemutusan hubungan kerja karena kemauan sendiri. Syarat pengunduran diri atas kemauan sendiri (resign) dalam Pasal 162 ayat (3) UU Ketenagakerjaan harus dipenuhi, yakni:
- Permohonan pengunduran diri disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum off (tidak lagi aktif bekerja). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pengusaha untuk mencari pengganti yang baru dan/atau melakukan transfer of knowledge bagi karyawan baru (pengganti);
- Tidak ada sangkutan “ikatan dinas”;
- Harus tetap bekerja (melaksanakan kewajibannya) sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Mengenai mengundurkan diri secara paksa, Pasal 155 ayat (1) jo. Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah batal demi hukum.
Namun penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini tidak diperlukan dalam hal:
- pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
- pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
- pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
- pekerja/buruh meninggal dunia.
Apabila pemutusan hubungan kerja tersebut bukan atas kemauan sendiri dan terdapat indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 154 huruf b UU Ketenagakerjaan, sehingga harus terlebih dahulu memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dengan catatan, segala upaya telah diupayakan agar pemutusan hubungan kerja dapat dihindari tapi gagal menghasilkan persetujuan, hal tersebut diatur dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
BACA JUGA : JASA PENGACARA KETENAGAKERJAAN
Apabila pemutusan hubungan kerja tersebut dilakukan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi batal demi hukum. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 170 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan:
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1)*, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Jadi pada dasarnya pengusaha tidak dapat memaksa pekerja untuk resign (mengundurkan diri). Apabila pengusaha tetap ingin melakukan pemutusan hubungan kerja dalam konteks pertanyaan Anda, maka harus mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.