Insolvensi

Insolvensi dapat kita temukan dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar.

Sedangkan, sebagaimana pernah dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 154-155), Price Water House Coopers, dalam tulisannya Insolvency in Brief: A Guide to Insolvency Terminology and Procedure, memberikan pengertian insolvency sebagai berikut:

Insolvency arises when individuals or businesses have insufficient assets to cover their debts, or are unable to pay their debts when they are supposed to.

Sutan Remy menyimpulkan bahwa dengan demikian, debitur yang insolven itu adalah debitur yang tidak dapat membayar utang kepada semua krediturnya. Bukan tidak hanya dapat melunasi utang kepada satu kreditur saja.

Sutan Remy dalam bukunya (hal. 156) menjabarkan penjelasan tentang debitur yang berada dalam keadaan insolven sebagaimana kami kutip berikut:

Sebuah perusahan atau pribadi yang dapat dinyatakan insolven (insolvent) atau pailit (bankrupt) adalah:

  1. Insolvensi terjadi apabila debitur tidak dapat melunasi semua utangnya;
  2. Insolvensi adalah keadaan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.

Jumlah keseluruhan utang-utang debitur tidak membeda-bedakan jenis para kreditur. Tidak dibedakan apakah utang-utang debitur tersebut kepada para kreditur konkuren, kreditur dengan hak jaminan, dan kreditur dengan hak istimewa. Untuk menentukan bahwa debitur sudah berada dalam keadaan insolven, harus dilakukan penjumlahan semua utang debitur kepada semua jenis krediturnya dan kemudian dibandingkan dengan jumlah harta kekayaannya (aset) untuk mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar atau sudah lebih kecil daripada jumlah seluruh utangnya.

Kemudian, dalam bukunya Sutan Remy (hal. 129) juga menjelaskan tentang syarat insolvensi sebagai berikut:

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tidak dicantumkan sebagai syarat agar debitur dapat dipailitkan adalah dialaminya keadaan insolvensi keuangan debitur. Perlu diketahui bahwa dalam Undang-Undang Kepailitan di negara-negara lain, kepailitan debitur hanya dimungkinkan apabila debitur telah dalam keadaan insolven.

Debitur telah berada dalam keadaan insolven hanya apabila jumah nilai kewajiban (utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta kekayaannya). Keadaan debitur yang seperti itu disebut balance sheet insolvency. Balance sheet insolvency dilawankan dengan cash flow insolvency, yaitu keadaan keuangan debitur yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah jatuh tempo karena arus pemasukan (cash inflow) debitur lebih kecil dari pada arus pengeluarannya (cash outflow) sekalipun nilai asetnya masih lebih besar dari pada kewajibannya (belum mengalami balance sheet insolvency).

Apabila debitur tidak membayar utangnya sebagai akibat terjadinya cash flow insolvency, perkaranya seharusnya bukan diperiksa oleh pengadilan kepailitan (di Indonesia disebut dengan Pengadilan Niaga), tetapi diperiksa oleh pengadilan perdata biasa yaitu Pengadilan Negeri. Perkara tidak dibayarnya utang debitur yang tidak mengalami balance sheet insolvency kepada krediturnya adalah perkara cedera janji atau wanprestasi, bukan perkara kepailitan.

Terdapat perbedaan antara kepailitan dan insolvensi. Dimana debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi dalam hal pailit, belum tentu harta debitur tidak cukup untuk membayar utang-utangnya.

Sedangkan di Indonesia, arti insolvensi yang kita temukan dalam UU 37/2004 KPKPU adalah sebatas “keadaan tidak mampu membayar”. Lebih luas lagi, jika mengacu pada pendapat Sutan Remy, yang dikatakan dengan debitur dalam keadaan insolven adalah ketika debitur tidak dapat melunasi utang kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.