Hukum Gaji dibawah UMR

Menurut Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota (sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupunupah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).

Larangan ini juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum(“Permenakertrans 7/2013”) serta Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenaker 231/2003”) sebagai berikut:

Pasal 15 Permenakertrans 7/2013:

(1)  Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum yang telah ditetapkan.

(2)  Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

 

Pasal 2 Kepmenaker 231/2003:

(1)  Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2)  Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

Larangan tersebut menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata maupun pidana, dan bahkan aspek hukum administrasi.

  • Dari aspek hukum pidana, kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) sehingga pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
  • Dari aspek hukum perdata, kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihak kausa-nya harus halal. Dengan demikian, memperjanjikan upah di bawah upah minimum adalah null and void atau batal demi hukum.
  • Dari aspek hukum administrasi, apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan ada kesepakatan untuk membayar menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang. Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan, penangguhan tidak dapat diterapkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka atas dasar kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah minimum yang ditentukan. 

Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:

  • pada level jabatan atau pekerjaan terendah;
  • masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama; dan/atau
  • masih lajang.

Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang level jabatannya lebih tinggi (di atas level jabatan yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau telah mempunyai tanggungan (tidak lagi lajang), maka besaran upahnya tentu bukan lagi standard upah minimum, akan tetapi harus disesuaikan berdasarkan struktur dan skala upah.

Apa yang bisa dilakukan A & A Law Office :

Kami memiliki pengalaman dalam membantu perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan hubungan industrial baik ditingkat bipartit, tripartit, mediasi maupun melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Selain itu, kami dapat membantu menata legal perusahaan baik dari segi peraturan perusahaan, perjanjian, dan lainya terkait aspek legal perusahaan.

Anda dapat menghubungi kami melalui email: lawyer@aa-lawoffice.com atau 081 246 373 200