Perkembangan teknologi dapat berakibat pada pengurangan pekerja. Namun, belum ada solusi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Banyaknya pekerja, seiring dengan kemajuan teknologi dan pertarungan harga produksi yang semakin murah, tentu jika jumlah karwayan dipertahankan (sistem teknologi lama) akan membuat beban biaya yang semakin tidak efisien. Sehingga perlu adanya efisiensi dengan cara pengurangan pekerja dalam perusahaan. Aturan tentang efisiensi pekerja pada dasarnya sudah ada pengaturannya di dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi format normanya belumlah lengkap, sehingga sulit diimplementasikan (Vide Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan). Atas hal tersebut, terdapat solusi dengan adannya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan kembali bahwa aturan itu tidak bisa diterapkan (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011). Sehingga, untuk melakukan melakukannya harus ada alasan-alasan hukum yang jelas dan telah disepakati dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama dalam suatu perusahaan.
Perkembangan keadaan perusahaan dalam suatu waktu bisa mengalami kelebihan tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja salah satu bentuk pemborosan keuangan, sehingga untuk mengurangi pengeluaran yang dianggap tidak produktif, perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja. Pengurangan tenaga kerja dalam situasi seperti itu sering disebut sebagai tindakan efisiensi. Menghadapi situasi perusahaan yang terbelit masalah keuangan, efisiensi bisa dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan agar tidak sampai tutup. Penutupan perusahaan selalu berdampak lebih luas, buruh yang mengalami PHK akan bertambah banyak. Melakukan efisiensi sebagai upaya menyelamatkan perusahaan berdampak lebih positif dari pada menutup perusahaan. Perusahaan yang masih memiliki harapan untuk tumbuh, lebih baik melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja.
Putusan Mahkamah Konstitusi diatas tidak bisa diterapkan merata dalam semua permasalahan yang berkaitan dengan efisiensi. Putusan MK yang menyatakan alasan efisiensi harus dimaknai untuk perusahaan tutup secara permanen, bisa menghentikan praktik negatif yang berlangsung selama ini. ketidaksukaan pengusaha terhadap seorang karyawan kadangkala memilih menggunakan alasan efisiensi untuk mengakhiri hubungan kerja. Pilihan menggunakan alasan efisiensi karena tidak menemukan kesalahan yang dapat dijadikan dasar melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). Putusan PHK menjadi aneh manakala 2 (dua) atau 3 (tiga) orang dari 100 (seratus) orang karyawan diberhentikan dengan alasan efisiensi. Alasan PHK seperti itu sering muncul dari hasrat melakukan PHK.
Pertentangan boleh atau tidak perusahaan melakukan efisiensi akan menjadi sumber perselisihan hubungan industrial. Situasi genting atau tidak sebagai alasan pengusaha melakukan PHK dengan alasan efisiensi, bukan karena perusahaan tutup permanen, masuk domain Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) untuk menguji. PHI akan memeriksa alasan apapun yang menyebabkan perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Bila pengusaha di lain sisi mampu membuktikan pengurangan pekerja, dan di sisi lain masih ingin menyelamatkan keberlangsungan perusahaan, pengusaha bisa saja melakukan PHK dengan alasan efisiensi. PHK karena alasan efisiensi lebih menguntungkan pekerja dari sisi kompensasi bila dibandingkan dengan PHK karena perusahaan tutup.