Upaya Hukum Keberatan atas Penetapan Ditjen Pajak

Dalam ranah hukum, kewajiban selalu bersanding dengan hak. Begitu pula terkait kewajiban pajak, setiap WP juga memiliki sejumlah hak. Salah satunya hak WP untuk ‘melawan’ penetapan Ditjen Pajak sebagaimana diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diamandemen empat kali terakhir oleh Perppu Nomor 5 Tahun 2008.

Setiap laporan pajak yang disampaikan oleh WP akan diperiksa oleh petugas Ditjen Pajak. Hasilnya, akan terbit surat ketetapan pajak yang menjelaskan apakah pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Atas surat ketetapan itu, lalu WP bisa tidak sependapat dan kemudian mengajukan keberatan.

Keberatan wajib diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Ditjen Pajak paling lambat tiga bulan sejak tanggal pengiriman surat ketetapan pajak atau tanggal pemotongan atau pemungutan. Atas keberatan yang diajukan WP, Direktur Jenderal Pajak memiliki waktu maksimal 12 bulan untuk mengambil keputusan dengan dua opsi, diterima atau ditolak.

Apabila ditolak, WP masih memiliki dua opsi yakni banding atau tidak banding. Jika tidak banding, WP akan dikenai sanksi denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum keberatan diajukan oleh WP.

Sebaliknya, jika banding, maka WP memiliki waktu tiga bulan sejak keputusan keberatan Ditjen Pajak diterima untuk mengajukan permohonan banding yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sama halnya dengan proses di Ditjen Pajak, batas waktu proses di Pengadilan Pajak juga dibatasi maksimal 12 bulan.

UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menetapkan dua jenis pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga, yakni pemeriksaan acara biasa atau pemeriksaan acara cepat. Pemeriksaan acara biasa berjalan seperti lazimnya pemeriksaan perkara di pengadilan pada umumnya. Sedangkan pemeriksaan acara cepat hanya berlaku untuk jenis perkara tertentu yakni sengketa pajak yang banding atau gugatannya tidak memenuhi syarat; gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu enam bulan; tidak terpenuhinya syarat formal putusan Pengadilan Pajak atau terdapat kesalahan tulis atau kesalahan hitung dalam putusan Pengadilan Pajak; atau sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan kewenangan Pengadilan Pajak.

Putusan Pengadilan Pajak dapat menyatakan banding ditolak, dikabulkan seluruhnya atau dikabulkan sebagian. Seperti halnya putusan keberatan di Ditjen Pajak, WP memiliki dua opsi jika permohonan bandingnya ditolak, yakni peninjauan kembali (PK) atau menerima keputusan Pengadilan Pajak dengan konsekuensi dikenai sanksi denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan pengadilan dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum banding diajukan.

Peluang terakhir WP yang tidak puas terhadap surat ketetapan Ditjen Pajak adalah PK ke Mahkamah Agung (MA). Pengajuan permohonan PK melalui Pengadilan Pajak yang dibatasi jangka waktunya maksimal tiga bulan sejak putusan banding dikirim atau sejak hal-hal yang menjadi alasan mengajukan PK diketahui oleh WP.

Menurut UU Pengadilan Pajak, alasan-alasan yang dapat menjadi dasar pengajuan PK antara lain ada kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah putusan banding; bukti-bukti yang diajukan di persidangan banding ternyata palsu berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap; atau terdapat bukti tertulis baru yang bersifat menentukan.

Berbeda dengan tahapan-tahapan sebelumnya, PK atas putusan Pengadilan Pajak memiliki tenngat waktu yang lebih singkat yakni enam bulan sejak permohonan PK diterima oleh MA.