Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”.
Selain Pasal 109 ayat 1 KUHAP di atas, ada juga ketentuan administatif penyidikan internal yang mengatur mengenai Sprindik, yang dapat kita temukan di Pasal 1 angka 17, Pasal 4 huruf d, Pasal 10 ayat (1), Pasal 15 dan Pasal 25 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan (“Perkap No. 14 Tahun 2012”). Berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Perkap No. 14 Tahun 2012, maka setelah Sprindik terbit, akan diterbitkan juga Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), yang sekurang-kurangnya memuat:
1. Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
2. waktu dimulainya penyidikan;
3. Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
4. Identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan
5. Identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
Dari ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut, dapat disimpulkan fungsi Sprindik dan SPDP sebagai “surat teknis” dapat dilihat dari 4 (empat) perspektif, yaitu pelapor, terlapor, penyidik dan penuntut umum, yaitu:
1. Dari perspektif pelapor: penerbitan Spridik dan SPDP menandakan bahwa laporan polisi yang dibuat oleh pelapor telah dimulai proses penyidikannya guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
2. Dari perspektif terlapor: penerbitan Sprindik dan SPDP menandakan suatu proses hukum atas suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai tindak pidana sudah dimulai dan terlapor dapat mengupayakan pembelaannya dengan mengajukan keterangan, bukti atau saksi untuk membuat terang suatu tindak pidana, tanpa melakukan proses pembuktian.
3. Dari perspektif penyidik: penerbitan sprindik dan SPDP menandakan dimulainya tugas penyidik untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka atau untuk menghentikannya nanti.
4. Dari perspektif penuntut umum: penerbitan sprindik dan SPDP adalah sarana komunikasi dari penyidik kepada penuntut umum untuk menginformasikan dimulainya suatu penyidikan dan sekaligus sebagai sarana pengawasan eksternal dari penuntut umum kepada penyidik, karena nantinya akan menjadi dasar untuk pembuatan surat dakwaan.
maka dengan dikeluarkannya Sprindik dan SPDP oleh pejabat yang berwenang (biasanya atasan penyidik), belum tentu sudah memuat penetapan tersangka atas seseorang, karena esensi dari penyidikan adalah upaya penyidik mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangkanya. Penetapan tersangka biasanya ditetapkan dalam suatu produk hukum yang lain, misalnya melalui Surat Penetapan Tersangka atau Surat Panggilan Tersangka.
Sebagai referensi, dalam menetapkan status tersangka, haruslah ada bukti permulaan yang cukup. Permasalahannya dalam KUHAP yang sudah berusia tiga dasawarsa lebih tidak cukup memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup.
Akan tetapi ketika kita mencermati Pasal 183 KUHAP yang merupakan jelmaan dari adagium “Beyond a reasonable doubt” (indubio pro reo), yang pada intinya menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disertai keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah melakukannya, harus dibaca dengan pengertian dan pemahaman yang bijaksana, yaitu bahwa penyidik tidak boleh menetapkan status tersangka pada seseorang tanpa adanya dua alat bukti yang sah disertai keyakinan (subjektif) bahwa terdapat schuld(kesengajaan/dolus atau kelalaian/culpa) dari seseorang, atau yang dikenal dengan istilah “niat jahat” (Mens Rea dalam konsep Common Law).
Belakangan,Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 memperjelas mengenai bukti permulaan, yaitu minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP tersebut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa