Perlindungan hukum pada Tersangka

Perlindungan hukum dapat dilihat dari pengertian kata “perlindungan” dan “hukum”. Perlindungan memiliki pengertian tempat berlindung atau bersembunyi.

Perlindungan hukum merupakan hal yang sangat penting dalam tatanan masyarakat hukum dijelaskan oleh Barda Nawawi bahwa berkaitan dengan masalah perlindungan hukum ada 4 (empat) aspek dari perlindungan hukum yang perlu mendapat perhatian, yaitu;

  1. Masyarakat memerlukan perlindungan perbuata-perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat.
  2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat-sifat bebahaya seseorang.
  3. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi / reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya.
  4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan.

Terkait dengan masalah perlindungan hukum terhadap hak tersangka, maka dapat disimpulkan, bahwa perlindungan hukum terhadap hak tersangka adalah tempat berlindung bagi seseorang atau beberapa orang dalam memperoleh hak-haknya sebagai tersangka melalui ketentuan-ketentuan, kaidah-kaidah maupun peraturan-peraturan yang mengatur tata keDalam proses penyidikan kaitannya dengan perlindungan hak-hak tersangka, seorang tersangka memperoleh perlindungan hukum sesuai ketentuan yang di atur dalam KUHAP, seperti;

  1. Hak mendapat bantuan hukum sejak penahanan.
  2. Hak menghubungi penasehat hukum.
  3. Pelaksanaan asas “praduga tidak bersalah”.

Perlindungan diberikan dalam kerangka memperlakukan seseorang tersangka sebagai orang yang dianggap tidak bersalah selama belum ada bukti yang kuat dan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hak-hak tersangka untuk memperoleh perlindungan hukum adalah bagian dari hak asasi manusia yang telah diletakkan dalam perubahan (amandemen) UUD 1945 secara implisit dirumuskan secara normatif dalam pasal-pasal seperti yang tercantum dalam BAB XA, Pasal 28.

Pasal 28a;

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Pasal 28g (ayat 1) ;

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Dua pasal tersebut menentukan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dan yang mempunyai kewajiban untuk melindungi hak adalah negara atas kehidupan setiap orang dan hak untuk mendapatkan perlindungan, terutama dari pemerintah. Hal itu dengan jelas diatur dalam Pasal 28i ayat (4);hidupan masyarakat yang diakui dan diikuti oleh anggota masyarakat itu sendiri.

“Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Didalam pembukaan UUD 1945 secara tegas menetapkan, bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang anti penjajahan, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemanusian, bercipta persatuan, mencintai musyawarah dan mufakat, dan bercintakan keadilan sosial.

Dalam butir 2 penjelasan umum KUHAP menjelaskan, bahwa pembangunan di bidang hukum acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibanya, serta dapat ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak dan mantapnya hukum, keadilan, dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, juga ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Secara umum fungsi dari undang-undang hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan terjamin perlilndungan para tersangka dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan demikian, hukum yang sama memberikan pula pembatasan-pembatasan terhadap hak asasi warganya. Dengan kata lain, hukum acara pidana adalah alat yang memberi kekuasaan terutama kepada penegak hukum yang juga sekaligus alat hukum untuk membatasi wewenang kekuasaan tersebut.

Pada hakekatnya hak tersangka / terdakwa adalah hak yang diperoleh selama proses penyidikan atau tahap pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perlindungan hak tersangka / terdakwa tidak terlepas dari pelaksanaan asas-asas dalam hukum pidana.

Beberapa hak-hak tersangka / terdakwa yang diatur dalam KUHAP, dapat diuraikan sebagai berikut;

  1. Hak prioritas penyelesaian perkara, Pasal 50 .
  2. Hak persiapan, Pasal 51.
  3. Hak mendapat bantuan hukum sejak penahanan, Pasal 54.
  4. Hak menghubungi.

Berdasarkan hak-hak tersebut diatas, maka penyidik wajib menjamin terlaksananya hak-hak seseorang tersangka selama proses penyidikan berlangsung disinilah peran penyidik dalam memberikan jaminan pelaksanaan hak bagi tersangka dalam perkara pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah meletakkan landasan prinsip “legalitas” dan pendekatan pemeriksaan dalam semua tingkat, dengan sistem “akuisatur”. Menempatkan tersangka dan terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai manusia yang mempunyai hak asasi dan harkat martabat harga diri. Sebagai perisai untuk membela dan mempertahankan hak asasi dan harkat martabat kemanusian tersangka atau terdakwa, KUHAP meletakkan landasan, sebagaimana yang diatur dalam BAB VI adalah penjabaran atau aturan pelaksana dari ketentuan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, landasan prinsip Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu;

  1. Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) ).
  2. Larangan campur tangan oleh sipapun dalam urusan peradilan di luar kekuasaan peradilan atau fair trial (Pasal 4 ayat (3) ).
  3. Persamaan derajat dan kedudukan di muka hukum, dalam arti peradilan dilakukan menurut hukum tanpa membedakan orang (Pasal 5).
  4. Seorang yang dihadapkan ke muka pengadilan, harus berdasar undang-undang yang telah ditentukan (Pasal 6 ayat (1) ).
  5. Tiada seorang pun yang yang dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) ).
  6. Setiap penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus berdasar atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 7).
  7. Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  8. Tersangka atau terdakwa yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai hukumyang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Proses pemeriksaan pendahuluan berupa kegiatan yang rinciannya merupakan pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan merupakan tindakan awal pemeriksaan perkara dan pembatasan lainnya dari tugas penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka.

Proses penyelesaian perkara pidana menurut hukum acara pidana merupakan proses yang panjang membentang dari awal sampai akhir melalui beberapa tahapan sebagai berikut;

  1. Tahap penyidikan.
  2. Tahap penuntutan.
  3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
  4. Tahap pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan.

Penyelidik adalah orang yang melakuan “penyelidikan”. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menemukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).

Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Barang kali “penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

Penyidikan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang mana dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut adalah sesuai dengan pengertian opsporing atau interrogation. Menurut de pinto, opsporing mempunyai arti; “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat, untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”.11

Di samping melakukan tugasnya, seorang penyidik wajib untuk menjunjung tinggi hukum yang berlaku, pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan, tetapi berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembanya. Dengan demikian kewenangan yang diberikan tersebut disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringanya kewajiban dan tanggung jawab penyidik.

Pada pemeriksaan tersangka, penyidik wajib memperhatikan segi-segi manusiawi, karena tersangka bukanlah sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang mempunyai hak dan kewajiban. Penyidikan sebagai usaha pertama untuk mengumpulkan bukti guna membuat terang suatu tindak pidana sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepolisian. Oleh karena itu, terhadap hasil pemeriksaan tersangka dan bahan pembuktian lainnya, sebelum diserahkan kepada penuntut umum, penyidik wajib secara obyektif menilai bahan pembuktian tersebut atas dasar kebenaran yang sejati mengingat pada asas-asas manusiawi.

  1. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Tersangka Dalam Proses penyidikan

Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan secara normatif telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik merupakan pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa penyidik memiliki wewenang untuk ;

  1. Menerima laporan / pengaduan pada saat di tempat adanya tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
  5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
  6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang pelaku.
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau pelaku.
  8. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
  9. Mengadakan penghentian penyidikan.
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka tindakan pertama yang dilakukan oleh penyidik adalah melakukan pemeriksaan di tempat kejadian berdasarkan laporan / pengaduan. Apabila bukti-bukti yang dikumpulkan sudah cukup kuat, maka langkah yang dilakukan penyidik selanjutnya adalah menangkap tersangka. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (2) KUHAP, menyatakan ;

“ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan”

Penangkapan terhadap seorang tersangka dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya salah penangkapan yang dapat merugikan hak dan nama baik tercemar. Pasal 17 KUHAP menegaskan dengan menyatakan ;

“ Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Dalam melakukan penangkapan terhadap seorang yang diduga sebagai tersangka, petugas kepolisian wajib menunjukan surat perintah penangkapan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP, menyatakan ;

“ Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.

Dalam terjadi penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pencurian ditempat kejadian perkara, maka tidak diperlukan surat perintah penangkapan. Aparat kepolisian baru membuat surat perintah penangkapan setelah tersangka pelaku tindak pidana pencurian dibawa kekantor kepolisian. Selanjutnya prosedur pemeriksaan terhadap tersangka kasus tindak pidana pencurian dilakukan sesuai dengan KUHAP dengan memperhatikan hak-hak tersangka.

Prosedur penangkapan oleh penyidik kepolisian sebagai berikut ;

  1. Penangkapan dengan surat penangkapan
  2. Penyidik dan penyelidik atas perintah kepala berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 20, Pasal 5 ayat (1) butir 1, Pasal 7 ayat 1 huruf d, Pasal 11 dan Pasal 16 KUHAP.
  3. Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP dengan ketentuan ;

1) Penangkapan harus sesuai dengan prosedur.

2) Tembusan.

  1. Jangka waktu penangkapan paling lama 24 jam (satu hari) sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa penangkapan sebagai mana dimaksud dalam pasal 17 dapat dilakukan paing lama 24 jam (satu hari).
  2. Terhadap pelaku/tersangka pelanggaran tidak diadakan kecuali apabila telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.
  3. Berita acara pemeriksaan tersangka harus dibuat, segera setelah penyidik melakukan penangkapan sebagai mana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 75 KUHAP.
  4. Penangkapan tanpa surat penangkapan
  5. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat penangkapan dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik yang terdekat.
  6. Dalam hal tertangkap tangan, penyelidik tanpa menunggu perintah penyidik, wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk segera diserahkan kepada penyidik disertai berita acara pemeriksaan tentang tindakan yang dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 102 ayat 2 dan 3 KUHAP.
  7. Dalam hal tertangkap tangan, setiap orang berhak melakukan penangkapan, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Hal ini diatur dalam Pasal 111 ayat 1 KUHAP.

Dalam melakukan penangkapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik, yaitu ;

  1. Menerbitkan surat tugas dan surat perintah penangkapan.
  2. Petugas menguasai data dan informasi mengenai sasaran penangkapan, antara lain ;
  3. Identitas lain, selain yang tercantum dalam surat perintah penangkapan.
  4. Sifat dan kebiasaan orang yang akan ditangkap.
  5. Jumlah dan kekuatan persenjataan orang yang akan ditangkap dan kemungkinan adanya pihak tertentu yang memabantu atau melindunginya.
  6. Keadaan dan suasana tempat orang yang akan ditangkap.
  7. Disusun sesuai rencana pengepungan atau penggrebekan.
  8. Melengkapi petugas dengan peralatan atau sarana yang diperlukan sesuai dengan tugas penangkapan.
  9. Mengenai prosedur penahanan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dapat diuraikan sebagai berikut ;

 Adanya dugaan kuat bahwa tersangka melakukan atau percobaan melakuan atau percobaan melakukan atau membantu melakukan tindak pidana berdasarkan barang bukti yang cukup.

Hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menegaskan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.