Perjanjian Pisah Harta Dalam Perkawinan

Pada dasarnya, perjanjian pisah harta dalam perkawinan secara tertulis diletakkan dalam suatu akta notaris dan boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK”):

  1. Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
  4. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan (“Surat Dirjen 472.2/2017”), perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.

Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, kedua belah pihak diberikan hak seluas-luasnya selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

Sebagai Contoh Dalam hal memperjanjikan bahwa rumah yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bersama, hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan karena pada dasarnya kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk membuat isi dan bentuk perjanjian perkawinan.

Mengenai pembuatan perjanjian pisah harta, Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada dasarnya, perjanjian perkawinan dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK, perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan agar berlaku bagi pihak ketiga. Kemudian Surat Dirjen 472.2/2017 mengatur lebih lanjut bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.