Hak Pakai pada prinsipnya adalah hak atas tanah yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Selain Hak Pakai, ada juga misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha (“HGU”) dan Hak Guna Bangunan (“HGB”).
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Hak Pakai ini timbul berdasarkan keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Sementara berdasarkan Pasal 42 UUPA, Hak Pakai hanya bisa diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI), orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Subyek yang berhak mendapatkan Hak Pakai ini lalu ditambah lagi berdasarkan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai (“PP No. 40/1996”). Yaitu departemen (saat ini digunakan nomenklatur ‘kementerian’); lembaga departemen non pemerintah, dan pemerintah daerah; badan-badan keagamaan dan sosial; serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Adapun yang bisa menjadi obyek Hak Pakai berdasarkan Pasal 41 PP No. 40/1996 adalah: Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Milik.
1. Mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Pakai
Ada dua jenis perpanjangan jangka waktu Hak Pakai, yaitu:
· Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan: jangka waktunya maksimal adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. (Pasal 45 PP No.40/1996).
· Hak Pakai atas Tanah Milik perorangan: jangka waktunya maksimal adalah 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang (Pasal 49 PP No. 40/1996).
Sayangnya Anda tidak menyebutkan bagaimana status tanah tersebut. Apakah tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah milik perorangan? Bila Hak Pakai tersebut ada di atas tanah milik perorangan, maka Hak Pakai tersebut tidak dapat diperpanjang.
Walau tak dapat diperpanjang, Hak Pakai atas tanah milik perorangan dapat diperbaharui berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Milik atas tanah tersebut. (Pasal 49 ayat (2) PP No. 40/1996).
2. Bisakah Hak Pakai atas tanah dan bangunan di atasnya diperjualbelikan?
Bisa tidaknya diperjualbelikan sangat tergantung pada status obyek tanah. Untuk Hak Pakai di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan, jual beli Hak Pakai bisa dilakukan sesuai Pasal 54 ayat (1) jo. ayat (3) No. 40/1996.
Sedangkan untuk tanah yang statusnya milik perseorangan, jual beli Hak Pakai hanya mungkin dilakukan bila sudah diatur terlebih dulu dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Pakai (lihat Pasal 54 ayat (2) PP No. 40/1996). Jika tidak ada pengaturan tersebut, maka pemegang Hak Pakai tidak bisa menjual Hak Pakainya kepada pihak ketiga.
Jual beli Hak Pakai dilakukan dengan Akta PPAT dan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 54 ayat (4) dan (5) PP No. 40/1996).
3. Bisakah status Hak Pakai dinaikkan menjadi Hak Milik
Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal (“Kepmen No. 6/1998”), Hak Milik dapat diberikan atas tanah Hak Pakai yang dijadikan rumah tinggal kepunyaan perseorangan WNI yang luasnya 600 m2 atau kurang atas permohonan dari yang bersangkutan (pemegang hak pakai tersebut).
Sesuai Pasal 1 ayat (2) Kepmen No. 6/1998, untuk pemberian Hak Milik tersebut, si penerima hak harus membayar uang pemasukan kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk meningkatkan status Hak Pakai menjadi Hak Milik adalah dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat disertai dengan lampiran sebagai berikut:
a. sertifikat tanah yang bersangkutan;
b. bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:
- fotocopy Izin Mendirikan Bangunan yang mencantumkan bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, atau
- surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, apabila izin Mendirikan Bangunan tersebut belum dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
c. fotocopy SPPT PBB yang terakhir (khusus untuk tanah yang luasnya 200 m2 atau lebih);
d. bukti identitas pemohon;
e. pernyataan dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon pendaftarannya itu yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang tanah seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5000 (lima ribu) m2.
Mau berkonsultasi mengenai hukum pertanahan? Kami siap membantu Anda, silakan hubungi A & A Law Office di +62 812-4637-3200 (whatsapp available) atau email ke: lawyer@aa-lawoffice.com