Hukum Pajak

  1. Definisi Pajak

Prof. Dr. Djajaningrat memberikan pengertian bahwa pajak merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian harta kekayaan kepada negara karena kejadian, keadaan juga perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu dimana pungutan itu bukanlah sebuah hukuman, namun kewajiban berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan bisa dipaksakan. Tujuannya tetap untuk memelihara kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Sedangkan Dr. Soeparman Soemahamidjaya berpendapat pajak merupakan iuran wajib bagi warga, baik berupa uang maupun barang yang dipungut oleh penguasa menurut norma-norma hukum yang berlaku guna untuk menutup segala biaya produksi barang dan jasa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara umum.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Rakyat yang membayar pajak tidak akan merasakan manfaat dari pajak secara langsung, karena pajak digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena dilaksanakan berdasarkan undang-undang.

Sedangkan pajak sendiri pada dasarnya mempunyai karakteristik tersendiri diantaranya adalah :

  • Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang yang mengatur tentang perpajakan;
  • Pajak dapat dipaksakan oleh pemerintah dimana kekuasaan ini dapat terlihat dengan adanya ketentuan sanksi administratif maupun pidana;
  • Masyarakat sebagai pembayar pajak tidak memperoleh kontra prestasi;
  • Pajak untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah dalam menjalankan pemerintahan;

Dari karakteristik tersebut ada dua landasan untuk melakukan pungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah yaitu :

  • Benefit Principle, bahwa fiskus atau pemerintah berwenang memungut pajak karena penduduk menerima manfaat dari adanya negara;
  • Ability to Pay Principle, bahwa pemerintah dalam memungut pajak harus memperhatikan kemampuan penduduk.
  1. Subjek dan Objek Pajak
  • Subjek Pajak

Subjek pajak adalah pihak-pihak yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya yang bisa meliputi orang perorangan (individu) maupun perusahaan (badan). Subjek pajak sendiri dapat dibagi menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri maupun Subjek Pajak Luar Negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri

Biasanya Subjek Dalam Negeri seperti yang dikemukakan dalam pengertian subjek pajak yang terdiri dari orang perorangan (individu) maupun badan. Yang dimaksud orang perorangan (individu) sebagai subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maupun orang perorangan yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan yang dimaksud badan dalam subjek pajak luar negeri adalah sekumpulan orang, dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi PT, CV, maupun perseroan lainnya, BUMN, BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik maupun organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (permanent establishment).

Subjek Pajak Luar Negeri

Sama halnya dengan subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri juga terdiri dari orang perorangan (individu) dimana individu tidak bertempat tinggal di Indonesia dan tidak berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Sedangkan badan yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak berkedudukan di Indonesia. Baik subjek pajak luar negeri yang terdiri dari orang perorangan maupun badan tersebut dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri karena keduanya mendapatkan dan/atau memperoleh penghasilan dengan cara menjalankan usaha dan/atau melakukan kegiatan bisnis melalui Permanent Establishment maupun yang tidak melalui Permanent Establishment biasanya yang bersifat Pasive Income seperti bunga, dividen, royalti maupun sewa.

  • Objek Pajak

Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

  1. Kepastian Hukum Pajak

Hukum pajak menurut Rochmat Soemitro adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. hukum pajak menerangkan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.

Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum administratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administratif yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.

Untuk mengatur perpajakan yang mempunyai legalitas hukum, hukum pajak juga harus bisa menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat. Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengaturan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.

Maka dari itu hukum pajak tentu mengatur antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan masyarakat (rakyat) sebagai wajib pajak. Pada umumnya hukum pajak tersebut terdiri hukum pajak materiil dan hukum pajak materiil.

Hukum Pajak Materiil

Dimana ketentuan hukum yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.

Hukum Pajak Formil

Ketentuan hukum yang memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain :

  • Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
  • Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, Perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
  • Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), hukum pajak formil dan materil terpisah. Hukum pajak formil untuk kedua jenis pajak tersebut adalah UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana diubah terakhir dengan UU No16 Tahun 2009. Artinya, kewajiban dan hak WP dalam urusan PPh dan PPN dapat kita temukan pada UU KUP.

Berbeda dengan hukum pajak formil, hukum pajak materil PPh terpisah dengan hukum pajak materil PPN.  Hukum pajak materil PPh adalah UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, sedangkan untuk PPN adalah UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.